Latest Updates
Showing posts with label Konsep Syariah. Show all posts
Showing posts with label Konsep Syariah. Show all posts

Mengapa Asuransi Syariah ?

KOMPAS.com - Di dalam ekonomi syariah (muamalah syariah), selain kita mengenal bank syariah, asuransi syariah pun merupakan bagian dari muamalah.

Sebelum kita membahas asuransi syariah maka perlu kita ketahui bahwa asuransi adalah perlindungan suatu nilai ekonomi, nilai ekonomi disini bisa dilihat dari manusia sebagai sumber ekonomi yang dapat menghasilkan uang atau bisa juga barang atau benda yang mempunyai nilai ekonomi seperti rumah, mobil dan lain-lain.


Berbicara mengenai asuransi syariah, ada beberapa landasan penting yang menjelaskan mengapa asuransi syariah dibutuhkan:

1. Di dalam sebuah kehidupan ada resiko dan ketidakpastian. Dalam syariah pernyataan ini didukung di Qs Lukman:34 �� dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang mengetahui dibumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal�.

2. Kita sebagai umat manusia diwajibkan untuk saling tolong menolong atau saling membantu. Hal ini sangat jelas tersurat dalam Qs Al Maidah:2 ��dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya�.

3. Bagi umat manusia yang beriman sangat dianjurkan untuk melakukan perencanaan kedepan untuk diri dan keluarga tercinta, sesuai dengan Qs Al-Hasyir:18 �Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang yang diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan�.

Setelah kita mengetahui beberapa landasan penting dari asuransi syariah, maka ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan dalam membandingkan asuransi syariah dengan asuransi konvensional yaitu:

1. Fundamental hukum dan operasional yakni (filosofinya) mencari ridho Allah sehingga berdimensi dunia dan akhirat sementara asuransi konvensional tidak ada keharusan untuk memiliki filosofi hukum operasional akhirat.

2. Fundamental hukum dan operasionalnya adalah berdasarkan Al Quran, hadist serta hukum positif yang berlaku. Asuransi konvensional hanya menggunakan hukum positif yang berlaku.

3. Managemen dalam struktur organisasi terdapat DPS (Dewan Pengawas Syariah) dengan tugas dan fungsi memastikan bahwa operasional, managemen, investasi dan produk perusahaan tidak menyimpang dari prinsip syariah.

4. Sistem akuntansinya adalah membuat laporan yang terbuka dimulai dari sumber dana, penggunaan dan zakatnya. Pada konvensional tidak ada kewajiban harus terbuka dalam hal sistem pembukuannya.

5. Produknya didisain agar terhindar dari unsur gharar (sesuatu yang tidak jelas), maisir (bersifat spekulatif) dan riba (bunga).

6. Operasional pengelolaan resiko berdasarkan prinsip membagi resiko (sharing of risk) diantara mereka, sementara konvensional memiliki konsep transfer of risk yakni pemindahan resiko dari peserta ke perusahaan, ini memiliki konsekuensi dana yang diperoleh menjadi berpindah dari peserta menjadi milik perusahaan.

7. Operasional investasi dana kelolaan pada instrumen berbasis syariah, khusus untuk saham syariah di Indonesia dapat dilihat pada data Jakarta Islamic Index. Pada asuransi konvensional bebas menentukan instrumen investasi.

8. Operasional pembayaran klaim resiko bersumber dari rekening dana tabbaru yaitu dana yang sejak awal sudah diniatkan dan diikhlaskan untuk kepentingan sosial atau tolong menolong diantara peserta takaful (saling menanggung) apabila terjadi musibah. Pada asuransi konvensional dana ini tercermin di rasio RBC (Risk Based Capital) atau rasio resiko berbanding modal.

Demikian pembaca yang bijaksana berdasarkan hal-hal yang telah tersebut diatas maka perusahaan asuransi syariah tentu memiliki kultur perusahaan berbasis syariah islam, dimana dana yang terkumpul merupakan hak dari peserta, perusahaan syariah hanya memegang amanah untuk mengelolannya, sedangkan pada konvensional dana yang terkumpul menjadi hak perusahaan sehingga perusahaan bebas melakukan alokasi investasinya.


Editor : Erlangga Djumena

Pandangan Al-Quran Mengenai Asuransi Syariah

Pandangan Al-Quran Mengenai Asuransi Syariah
Pada dasarnya, umat Islam hanya mewarisi lembaga keuangan dalam bentuk Baitul Mal. Walaupun begitu, dalam merespon perkembangan zaman, ulama kontemporer, khususnya yang konsent dalam pengkajian ekonomi Islam, melakukan ijtihad ekonomi dengan merumuskan lembaga keuangan syariah modern, seperti bank syariah ataupun asuransi syariah.

Landasan dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hukum praktek asuransi syariah. Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Quran dan sunnah Rasul, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam. Kebanyakan ulama (jumhur) memakai metodologi konvensional dalam mencari landasan syariah (al-asas al-syariyyah) dari suatu pokok masalah (subject matter). Dalam hal ini subject matter-nya adalah lembaga asuransi.

Al-Quran tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-tamin secara nyata dalam al-Quran. Walaupun begitu al-Quran masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (peril) di masa mendatang.

Di antara ayat-ayat al-Quran yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam praktek asuransi adalah:
QS al-Maidah [5]: 2. Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru pada berusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).

QS. al-Baqarah [2]: 182. Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Maka dari itu, manusia dituntun oleh Allah Swt. agar dalam setiap langkah kehidupannya selalu dalam bingkai kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat difahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan-nya di masa mendatang dan dapat melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.

QS al-Baqarah [2]: 261. Allah Swt. menegaskan bahwa orang yang rela menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan melipar gandakan pahalanya. Sebuah anjuran normatif untuk saling berderma dan melakukan kegiatan sosial yang diridhai oleh Allah Swt. Praktek asuransi penuh dengan muatan-muatan nilai sosial, seperi halnya dengan pembayaran premi ke rekening tabarruadalah salah satu wujud dari penafkahan harta di jalan Allah Swt. karena pembayaran tersebut diniatkan untuk saling bantu-membantu anggota perkumpulan asuransi jika mengalami musibah (peril) di kemudian hari.

QS. Surat Yusuf [12]: 46-49. Pada ayat ini mengandung semangat untuk melakukan proteksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang akan menimpa di masa datang. Baik peristiwa tersebut dalam bentuk, kecelakaan, kebakaran,terganggunya kesehatan, kecurian, ataupun kematian. Pada peristiwa di atas disebutkan bahwa Nabi Yusuf telah melakukan proteksi (pengamanan) atau perlindungan dari tujuh tahun masa paceklik dengan melakukan saving (penabungan) selama tujuh tahun yang lalu. Pelajaran yang dapat diambil dari ayat di atas untuk diterapkan pada praktek asuransi adalah dengan melakukan pembayaran premi asuransi berarti kita secara tidak langsung telah ikut serta mengamalkan prilaku proteksi tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf. Karena prinsip dasar dari bisnis asuransi adalah proteksi (perlindungan) terhadap kejadian yang membawa kerugian ekonomi.

Nilai-Nilai Dalam Pengelolaan Asuransi Syariah

Asuransi syariahmerupakan salah satu intrumen transaksi, yang secara sistem operasional disesuaikan dengan syariah Islam. Sehingga akad, mekanisme pengelolaan dana, mekanisme operasional perusahaan, budaya perusahaan (shariah corporate culture), marketing, produk dsb harus sesuai dengan syariah. Namun yang perlu digaris bawahi juga adalah, bahwa asuransi syariah tidak semata-mata harus menjalankan sistem operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. 
Namun lebih dari itu, ia juga harus mengimplementasikan suatu nilai yang menjadi �jantung� dari prinsip-prinsip syariah.

Berpegang pada nilai-nilai ini sangat penting. Karena nilai-nilai inilah sesusungguhnya yang merupakan ruh dari sistem operasional yang dilakukan secara syariah. Hilangnya nilai-nilai ini akan berdampak pada hiilangnya �ruh� dari syariah. Sebagai contoh dalam aspek hubungan mudharabah, dimana terdapat dua pihak ; shahibul maal (pemilik modal), dan mudharib (pengusaha). Shahibul maal meminta kepada mudharib untuk mengelola dananya, namun dengan syarat bahwa nisbah bagi hasil yang akan dihasilkan dibagi dua 90% untuk shahibul maal dan 10% untuk mudharib. 
 
Secara fiqh, akad mudharabah yang dilakukan oleh kedua belah pihak di atas adalah sah. Karena telah memenuhi semua rukun dan syarat akad mudharabah. Namun secara �nilai�, akad tersebut cacat karena tidak memberikan porsi keadilan bagi mudharib. Mudharib hanya mendapatkan keuntungan 10% sementara shahibul maal 90%. Untuk itulah, dalam menjalankan usaha asuransi syariah, juga sangat diperlukan tegaknya nilai-nilai syariah, agar operasional asuransi syariah benar-benar mencerminkan ruh syariah yang sesungguhnya. Berikut adalah 10 nilai yang mendasar dalam pengelolaan asuransi syariah, yaitu :
1. Prinsip Tauhid
Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya, tidak terkecuali dalam bermuamalah (baca ; berasuransi syariah).  Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT.  Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari �perlindungan� apabila terjadi musibah. Dengan demikian, maka nilai tauhid terimplementasikan pada industri asuransi syariah.  Allah SWT berfirman :
????? ???????? ???????? ??????????? ?????? ?????????????
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51 : 56)
2. Prinsip Keadilan
Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam pengimplementasian asuransi syariah adalah prinsip keadilan. Artinya bahwa asuransi syariah harus benar-benar bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syariah tidak boleh mendzalimi nasabah dengan hal-hal yang akan menyulitkan atau merugikan nasabah.

Ditinjau dari sisi asuransi  sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk melakukan ketidak adilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur dana hangus (pada saving produk), dimana nasabah yang sudah ikut asuransi (misalnya asuransi pendidikan) dengan periode tertentu, namun karena suatu hal ia membatalkan
kepesertaannya di tengah jalan. Pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut hasil investasinya. Bahkan terkadang asuransi syariah merasa kebingungan ketika terdapat dana-dana saving nasabah yang telah mengundurkan diri atau terputus di tengah periode asuransi, lalu tidak mengambil dananya tersebut kendatipun telah dhubungi baik melalui surat maupun melalui media lainnya. Mau dikemanakan dana ini? Karena dana tersebut bukanlah milik asuransi syariah, namun milik nasabah. Namun telah bertahun-tahun diberitahu atau dihubungi, nasabah bersangkutan tidak juga mengambilnya. Hal ini tentu berbeda dengan asuransi pada umumnya. Allah SWT berfirman :


??????????? ????????? ????????? ??????? ??????????? ??????? ????????? ??????????? ????? ??????????????? ??????? ?????? ????? ?????? ?????????? ????????? ???? ???????? ??????????? ?????????? ??????? ????? ??????? ??????? ????? ???????????
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/ 5 : 08)
3. Prinsip Tolong Menolong
Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi syariah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi syariah didasarkan pada prinsip ini. Dimana sesama peserta bertabarru� atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru� nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru� tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi).  Perusahaan asuransi syariah mengelola dana tabarru� tersebut, untuk diinvestasikan (secara syariah) lalu kemudia dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka. Allah SWT berfirman :
?????????????? ????? ???????? ???????????? ????? ???????????? ????? ????????? ??????????????
Dan bertolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah : 2)
4. Prinsip Kerjasama
Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharabah musytarakah (nanti akan dijelaskan tersendiri mengenai akad ini dalam pembahasan khusus akad), terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudharib (pengelola/ pengusaha). Apabila dari dana tersebut terdapat keuntungan, maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama terjalin dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, demikian juga perusahaan asuransi syariah menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka akan terjalin pola hubungan kerjasama yang baik pula, yang insya Allah akan membawa keberkahan pada kedua belah pihak.

5. Prinsip Amanah
Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting. Karena pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam mengelola dana premi. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek resiko yang menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam artian mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang tentunya akan berakibat pada ruginya para peserta yang lainnya.  Perusahaan pun juga demikian, tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang berdampak pada ruginya nasabah. Dan transaksi yang amanah, akan membawa pelakunya mendapatkan surga. Rasulullah SAW bersabda :
?????????? ??????????? ??????????? ???? ?????????????? ?????????????????? ????????????? (???? ???????)?
Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, (kelak akan dikumpulkan di akhirat) bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada�. (HR. Turmudzi)
6. Prinsip Saling Ridha (�An Taradhin)
Dalam transaksi apapun,  aspek an taradhin atau saling meridhai harus selalu menyertai.  Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang amanah dan profesional. Dan perusahaan asuransi syariah ridha terahdap amanah yang diembankan nasabah dalam mengelola kontribusi (premi) mereka. Demikian juga nasabah ridha dananya dialokasikan untuk nasbah-nasabah lainnya yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan mereka. Dengan prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling tolong menolong memiliki arti yang luas dan mendalam, karena semuanya menolong dengan ikhlas dan ridha, bekerjasama dengan ikhlas dan ridha, serta bertransaksi dengan ikhlas dan ridha pula.

7. Prinsip Menghindari Riba
Riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari sejauh-jauhnya khususnya dalam berasuransi. Karena riba merupakan sebatil-batilnya transaksi muamalah. Tingkatan dosa paling kecil dari riba adalah ibarat berzina dengan ibu kandungnya sendiri (baca dahsyatnya dosa-dosa riba, dalam blog ini). Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah, harus diinvestasikan pada investasi yang sesuai dengan syariah dan sudah jelas kehalalannya. Demikian juga dengan sistem operasional asuransi syariah juga harus menerapakan konsep sharing of risk yang bertumpu pada akad tabarru�, sehingga menghilangkan unsur riba pada pemberian manfaat asuransi syariah (klaim) kepada nasabah.

8. Prinsip Menghindari Maisir.
Asuransi jika dikelola secara konvensional akan memunculkan unsur maisir (gambling). Karena seorang nasabah bisa jadi membayar premi hingga belasan kali namun tidak pernah klaim. Di sisi yang lain terdapat nasabah yang baru satu kali membayar premi lalu klaim. Hal ini terjadi, karena konsep dasar yang digunakan dalam asuransi konvensional adalah konsep transfer of risk. Dimana perusahaan asuransi konvensional ketika menerima premi, otomatis premi tersebut menjadi milik perusahaan, dan ketika membayar klaim pun adalah dari rekening perusahaan. Sehingga perusahaan bisa untung besara (makala premi banyak dan klaim sedikit), atau bisa rugi banyak (ketika premi sedikit dan klaimnya banyak).

9. Prinsip Menghindari Gharar
Gharar adalah ketidakjelasan. Dan berbicara mengenai resiko, adalah berbicara tentang ketidak jelasan. Karena resiko bisa terjadi bisa tidak. Dan dalam syariat Islam, kita tidak diperbolehkan bertransaksi yang menyangkut aspek ketidak jelasan. Dalam asuransi (konvensional), peserta tidak mengetahui apakah ia mendapatkan klaim atau tidak? Karena klaim sangat bergantung pada resiko yang menimpanya. Jika ada resiko, maka ia akan dapat klaim, namun jika tidak maka ia tidak mendapakan klaim. Hal seperti ini menjadi gharar adanya, karena akad atau konsep yang digunakan adalah transfer of risk. Sedangkan jika menggunakan aspek sharing of risk, ketidak jelasan tadi tidak menjadi gharar. Namun menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai, yang apabila terjadi sesama nasabah akan saling bantu membantu terhadap peserta lainnya yang tertimpa musibah, yang diambil dari dana tabarru� yang dikelola oleh perusahaan asuransi syariah (bukan dari dana perusahaan).

10. Prinsip Menghindari Risywah
Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah maupun pihak nasabah harus menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari aspek risywah (sogok menyogok atau suap menyuap). Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan menguntungkan satu pihak, dan pasti akan ada pihak lain yang dirugikan. Nasabah umpamanya tidak boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaaat (klaim). Atau sebaliknya perusahaan tidak perlu menyogok supaya mendapatkan premi (kontribusi) asuransi. Namun semua harus dilakukan secara baik, transparan, adil dan dilandasi dengan ukhuwah islamiyah.
Inilah sepuluh prinsip dasar dalam mekanisme pengelolaan asuransi syariah. Dan alangkah indahnya sepuluh prinsip ini, apabila diimplementasikan secara baik dalam asuransi syariah. Dan setelah membaca sepuluh prinsip ini, tidakkah anda tertarik untuk berasuransi secara syariah�?
Wallahu A�lam bis shawab

By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Embrio Asuransi Syariah - Sejarah Perlindungan Insan Dalam Islam

A. Definisi Atta’min Dari Segi Bahasa
Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut Atta’min ( ??????? ) yang berasal dari kata ( ??? ) yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah SWT :

'Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan.'
Dari kata ( ??? ) diatas yang merupakan kata dasar ( ??????? ), muncul kata-kata lain yang secara artinya memiliki kemiripan, yaitu :
• ( ?????????? ???? ????????? ) aman dari rasa takut.
• ( ??????????? ????? ???????????? ) amanah lawan kata dari khianat.
• ( ???????????? ????? ????????? ) iman lawan dari kekufuran.
• ( ????????? ???????????/ ????????? ) memberi rasa aman.

Arti yang terakhir yang paling dekat untuk menerjemahkan istilah atta’min, yaitu : Menta’minkan sesuatu, artinya seseorang membayar/ menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.
  • Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
  • Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
  • (Menurut Dewan Syariah Nasional MUI, dalam Fatwa DSN No. 21/ DSN-MUI/IX/2001)


B. Asal Mula Asuransi Syariah

1)Al-Aqila
  • Al-Aqilah yaitu saling memikul atau bertanggung jawab untuk keluarganya. Jika salah seorang dari anggota suatu suku terbunuh oleh anggota satu suku yang lain, maka pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai konpensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut aqilah. Lalu mereka mengumpulkan dana (al-kanzu) yang diperuntukkan membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak disengaja.
  • Ibnu Hajar Al-Asqolani mengemukakan bahwa sistem Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini terlihat dari hadits yang menceritakan pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail, dimana salah seorang dari mereka memukul yang lainnya dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita tersebut dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Pewaris korban membawa permasalahan tersebut ke Pengadilan. Rasulullah memberikan keputusan bahwa konpensasi bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik laki-laki maupun wanita. Sedangkan konpensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat) yang harus dibayar oleh Aqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.
  • Al-Muwalat yaitu perjanjian jaminan, dimana seorang penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak dikeketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya.(Az Zarqa’ dalam Aqdud Ta’min).
  • Yaitu sebuah konsep perjanjian yang berhubungan dengan manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau majlis. Manfaatnya akan dibayarkan kepada ahli waris yang dibunuh jika kasus pembunuhan itu tidak diketahui siapa pembunuhnya atau tidak ada keterangan saksi yang layak untuk benar-benar secara pasti mengetahui siapa pembunuhnya.


2) At-Tanahud
    • Tanahud merupakan ibarat dari makanan yang dikumpulkan dari para peserta safar yang dicampur menjadi satu. Kemudian makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka, kendati mereka mendapatkan porsi yang berbeda-beda.
    • Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Marga Asy’ari (Asy’ariyin) ketika keluarganya mengalami kekurangan makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian dari kami dan kami adalah bagian dari mereka." (HR. Bukhari)
    • Dalam kasus ini, makanan yang diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Begitu halnya dengan makanan yang diterima, bisa jadi sama porsinya atau berbeda-beda.


3) Aqd Al-hirasah
    • Yaitu kontrak pengawal keselamatan. Di dunia Islam terjadi berbagai kontrak antar individu, misalnya ada individu yang ingin selamat lalu ia membuat kontrak dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya, dimana ia membayar sejumlah uang kepada pengawal, dengan konpensasi kemanannya akan dijaga oleh pengawal.


4) Dhiman Khatr Thariq
    • Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan lalu lintas. Para pedagang muslim pada masa lampau ingin mendapatkan perlindungan keslamatan, lalu ia membuat kontrak dengan orang-orang yang kuat dan berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, dan pihak lain menjaga keselamatan perjalanannya.


C. Cikal Bakal Asuransi Syariah

1) Bentuk-bentuk muamalah di atas (Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud, dsb) karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari atas amal tathawwu dan tabarru yang tidak berorientasi pada profit.
2) Kemudian secara syakliyah, bentuk-bentuk akad di atas memang memiliki kemiripan dengan asuransi, meskipun beberapa diantaranya dipertanyakan 'pengakuan' Islam terhadap akad tersebut. Seperti Al-Muwalat, yang sebenarnya merupakan satu sistem pewarisan dalam pola kehidupan jahiliyah, yang pada masa peralihan zaman permulaan Islam memang diakui. Namun kemudian Islam menetapkan sistim mawarisnya sendiri sehingga akad tersebut tidak mempunyai wujud lagi.
3) Lalu pada Aqilah, yang justru 'pembayar premi' tidak mendapatkan 'manfaat' dari preminya tersebut, karena diperuntukkan bagi orang lain. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan syakliyah antara asuransi dengan Aqilah. Hal serupa juga terjadi pada akad Dhaman Khatr Tariq, dimana penjamin memberikan jaminannya secara sukarela, dan tidak berdasarkan 'premi' yang dibayar oleh terjamin.
 
D. Antara Akad-Akad Islam Dengan Sistem Asuransi
    • Kendati akad-akad di atas memiliki beberapa kemiripan dengan sistem asuransi, namun sesungguhnya secara syakliyah terdapat perbedaan-perbedaan mendasar yang cukup membedakannya dengan asuransi.
    • Harus diakui bahwa dunia Islam baru berkenalan dengan asuransi pada sekitar abad ke 19, ketika terjadi penjajahan Dunia Barat terhadap negeri-negeri Islam.
    • Oleh karenanya sesungguhnya asuransi merupakan sesuatu yang baru dan asing di kalangan muslim. Dan secara karakter, asuransi sangat kental dengan karakteristik negeri tumbuh dan berkembangnya yang tentunya sangat berbeda dengan karakter Muamalah Islamiyah.
    • Namun bukan berarti bahwa hal tersebut secara hukum Islam tidak sah dan tidak diperbolehkan. Karena dalam masalah muamalah pada prinsipnya yang penting tidak melanggar atau bertentangan dengan prinsip syariah. Kaidah syariah mengatakan :

      "Pada dasarnya hukum sesuatu itu adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan pengharamannya".


E. Pembicaraan Pertama Asuransi Dalam Kitab Klasik
    • Ibnu Abidin (1784–1836) dianggap orang pertama di kalangan fuqoha yang mendiskusikan masalah asuransi. Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti'man Al-Kafir.
    • Beliau menulis, "Telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari seorang harby, mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar sejumlah uang untuk seorang harby yang berada di negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagai sukarah (premi asuransi) dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal yang disewanya itu, apabila musnah karena kebakaran, tenggelam, dibajak atau sebagainya, maka penerima uang premi asuransi itu menjadi penanggung sebagai imbalan uang yang diambil dari pedagang itu. Apabila barang-barang mereka terkena masalah yangdisebutkan di atas, maka si wakillah yang membayar kepada para pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar junlah uang yang pernah diterimanya.


F. Mencari Alternatif Asuransi Islami
    • Pada hakekatnya manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. Untuk dapat meraih kehidupan bersama, manusia harus saling tolong menolong dan saling menanggung antara yang satu dengan yang lain.
    • Sistem At-Takaful, yaitu saling menanggung antara sesama manusia, merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia bagi kegiatan menusia sebagai makhluk sosial.
    • Dengan dasar pijakan 'takaful' dalam berasuransi, akan terwujud hubungan yang Islami diantara para pesertanya yang bersepakat untuk menanggung bersama atas risiko yang diakibatkan musibah, seperti kebakaran atau lainnya.
    • Semangat bertakaful menekankan pada kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta. Sifat mengutamakan kepertingan pribadi atau dorongan mendapatkan keuntungan semata-mata, dihilangkan seminimal mungkin dalam asuransi syariah.



G. Berasuransi Syariah Mengamalkan Hadits Ukhuwah

Dalam sebuah riwayat digambarkan:

???? ???????????? ???? ??????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ?????? ?????????????? ??? ???????????? ??????????????? ??????????????? ?????? ????????? ????? ???????? ?????? ?????? ???????? ???? ??????? ????????? ??????????? ??????????? (???? ????)

"Dari Nu'man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasakan sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam." (HR. Muslim)

Hadits ini menggambarkan tentang adanya saling tolong menolong dalam masyarakat Islami. Dimana digambarkan keadaannya seperti satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Dan terkadang bantuan yang diterima, jumlahnya melebihi biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Sehingga terjadilah surplus, yang minimal dapat mengurangi beban penderitaan orang yang terkena musibah. Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah.


Rikza Maulan Lc MA
Sekretaris Dewan Pengawas Syariah

Konsep Dasar Asuransi Syariah

Indonesia merupakan Negara, dimana mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam. Namun demikian, perkembangan produk-produk dengan prinsip syariah baru berkembang kurang lebih 3-4 tahun yang lalu, salah satunya adalah produk asuransi syariah.
Setelah itu, asuransi berbasis syariah mulai digarap oleh beberapa perusahaan dengan pendirian divisi syariah. Dengan terus berkembangnya produk-produk berbasis syariah, maka kami melihat pentingnya untuk memperkenalkan secara khusus produk asuransi syariah.
Sebelum masuk prinsip-prinsip dan mekanisme produk tersebut, banyak kalangan muslim yang beranggapan bahwa berasuransi adalah haram. Apakah benar? Ikut pembahasannya dibawah ini.

 Asuransi Tidak Islami?
Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr: 18
�Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan�. 
Jelas sekali dalam ayat ini kita dipertintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan.
Dalam Al Qur�an, surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapai kemungkinan yang buruk dimasa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja mesir tetang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah.
Nabi Yusuf dalam hal ini menjawab supaya kamu bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapapi masa sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan.
Sangat jelas dalam ayat ini kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan meproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat diatas menyatakan bahwa berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sisitem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi.
Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan, pertanyaan selanjutnya adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang (asuransi konvensional) telah memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami. Dalam mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa, paling tidak ada tiga hal yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya unsur gharar (ketidak jelasan dana), unsur maisir (judi/ gambling) dan riba (bunga). Ketiga hal ini akan dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai perbedaan antara asuransi konvensional dan syariah.
Asuransi Konvensional Dan Syariah
Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi konvensional berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) sedangkan asuransi jiwa syariahmenganut azas tolong menolong dengan membagi risiko diantara peserta asuransi jiwa (risk sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara mengelola unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa syariah menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi
Secara rinci perbedaan antara asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada uraian berikut :
Kontrak Atau Akad

Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli). 
Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli. Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan kita meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharar �ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum
Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada asuransi konvensional.
Tujuan dari dana tabarru� ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya dana tabarru� disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru� yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru� merupakan hibah yang dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus memenuhi syariah. 
Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalahcirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. 
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati didepan sehingga bila terjadi keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan.
Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal apa yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga. 
Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba. Sedangkan asuransi syariah dalam berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem al-mudharabah.
Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis msa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi keuntungan perusahaan asuransi.
Dalam konsep asuransi syariah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru� yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.

Manfaat Asuransi Syariah
Asuransi syariah dapat menjadi alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat. Demikianlah sekilas ulasan mengenai asuransi syariah. Semoga ulasan ini menambah wawasan dan pengetahuan anda.

FILOSOFIS ISLAM
filosofis ekonomi Islam menurut Adiwarman Karim, terbagi atas empat hal, yaitu : Pertama, prinsip tauhid, yaitu dimana kita meyakini akan kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah SWT didalam mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme perolehan rizki. Sehingga seluruh aktivitas, termasuk ekonomi, harus dilaksanakan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah SWT secara total.
Yang kedua, prinsip keadilan dan keseimbangan, yang menjadi dasar kesejahteraan manusia. Karena itu, setiap kegiatan ekonomi haruslah senantiasa berada dalam koridor keadilan dan keseimbangan. Kemudian
Yang ketiga adalah kebebasan. hal ini berarti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya.
Selanjutnya yang keempat adalah pertanggungjwaban. Artinya bahwa manusia harus memikul seluruh tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambilnya.

Sumber : Gunadarma.ac.id